Saturday, October 1, 2016

Kisah hidup keluarga besar Sri Mulyani yang luar biasa

Kisah hidup keluarga besar Sri Mulyani yang luar biasa

keluarga besar sri mulyani, biografi sri mulyani indrawati dan keluarga, profil sri mulyani indrawati dan keluarga,keluarga besar sri mulyani indrawati, saudara sri mulyani,kakak sri mulyani,anak sri mulyani, suami sri mulyani indrawati, sri mulyani indrawati tonny sumartono
Siapa tidak kenal Sri Mulyani? Sosok wanita tangguh yang sangat booming namanya saat menjadi salah satu bagian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II pimpinan mantan presiden kita Bapak SBY. Namanya kian melejit tatkala beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan menjadi direktur Bank Dunia. Tak banyak wanita Indonesia yang memiliki peranan langsung dalam roda kabinet Republik Indonesia. Jabatan presiden, wakil presiden serta menteri mayoritas diisi oleh kalangan pria.
Sri Mulyani
Beberapa nama wanita kondang yang sempat mengisi jabatan menteri antara lain yakni Linda Gumelar, Mari Elka Pangestu dan Siti Fadilah Supari. Berbicara mengenai peran wanita dalam bidang kementerian kabinet Republik Indonesia, tak lengkap rasanya bila tak menyebutkan nama wanita inspiratif yang satu ini.
Berikut ini ulasan mengenai profil Sri Mulyani yang tentunya akan membuat kamu tercengang-cengang dengan prestasi luar biasa yang beliau torehkan.
Sri Mulyani yang bernama lengkap Sri Mulyani Indrawati atau akrab dengan panggilan Mbak Ani yang secara khusus diberikan oleh istri mantan presiden kita Ibu Ani Yudhoyono, lahir di Bandar Lampung, 26 Agustus 1962.  Anak ke 7 dari 10 bersaudara ini merupakan lulusan Universitas Indonesia, Jakarta, sebagai sarjana ekonomi di tahun 1981-1986. Kemudian beliau melanjutkan kuliah S2 dan S3nya di kampus yang sama di University of Illusionis Urbana-Champaign, USA. Untuk S2, beliau mengambil Master of Science of Policy Economics  (1988 – 1990 ), dan kemudian untuk S3nya Ph. D of Economics (1990 –  1992).

Kisah hidup keluarga besar Sri Mulyani yang luar biasa

Namanya Sri Mulyani, Ibu dari 3 anak ini kini sudah tidak lagi tinggal di Indonesia. Bukan karena tidak lagi cinta pada negaranya, namun karena beliau mengemban tugas yang lebih besar. Setelah begitu banyak terobosan yang ia cetuskan dan membersihkan kementerian dari KKN dan birokrasi yang menyulitkan, ia seolah ‘terbuang’. Ia disangkutkan dengan kasus bailout Bank Century, dituduh ikut andil dalam kasus yang tak kunjung usai ini.
Sri Mulyani hanya diam dan mengikuti aturan, berpegang teguh pada kebenaran. Beliau tahu benar bahwa di luar sana banyak yang mengincarnya, karena kejujuran dan ketegasannya. Perempuan hebat yang mendirikan beasiswa LPDP bagi mahasiswa Indonesia ini seolah ‘terusir’ dari negerinya sendiri, kemudian seperti permata yang terpendam, ia diangkat oleh Bank Dunia menjadi Direktur Pelaksana. Hal ini menjadi bukti bahwa, Sri Mulyani adalah orang yang baik dan bersih.
Jika selama ini publik hanya mengetahui bahwa beliau dulu adalah menteri keuangan di era Kabinet Indonesia Bersatu yang tersangkut kasus pelik Bank Century. Namun Sri Mulyani lebih dari itu, kisah hidupnya akan membuka mata kita semua bahwa, Sri Mulyani adalah pahlawan masa kini. Berikut kisah hidup beliau yang menguras air mata dan penuh dengan perjuangan
Pada Bahu Sri Mulyani, Indonesia Bersandar dan Selamat dari Krisis Ekonomi
Anda masih ingat mengenai krisis ekonomi parah yang menghantam Amerika Serikat beberapa tahun lalu? Kala itu, perekonomian dunia morat marit tidak karuan bahkan Yunani dinyatakan pailit beberapa bulan lalu. Jika negara-negara maju saja ambruk dan beberapa negara bagian di Amerika bangkrut, lantas bagaimana bisa Indonesia yang notabene negara berkembang dan masih rapuh, bisa selamat bahkan kursnya menguat pesat?
Ibu Sri Mulyani yang tidak tidur berhari-hari, merumuskan langkah-langkah untuk menghadang krisis ekonomi global menyerang Indonesia. Beliau memimpin rapat dari pagi hingga malam, dengan beban luar biasa besar. Nasib negeri ini, digantungkan pada bahunya. 2 hari 2 malam, Sri Mulyani memimpin rapat yang konon menjadi tonggak dibangunnya benteng tebal yang menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi global.
Beliau tahu benar bahwa jabatannya sebagai Menteri Keuangan saat itu menjadi tumpuan dan harapan untuk menentukan langkah Indonesia ke depan. Dalam waktu 48 jam, segala hal penting di Indonesia dari hulu ke hilir, kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya harus Sri Mulyani handle. Semua harus beliau pikirkan dengan matang dan teliti agar jangan sampai salah mengambil keputusan.
Bahkan saat orangtuanya meninggal, Sri Mulyani dihadapkan pada keputusan sulit. Meninggalkan rapat dan datang ke rumah duka, atau meneruskan rapat dengan risiko tak akan bisa melihat wajah sang orangtua untuk terakhir kalinya. Namun ia tahu bahwa Indonesia lebih membutuhkannya saat itu. Begitu semua rapat berakhir, Sri Mulyani mengambil wudhu dan sholat. Saat berdoa, ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimanapun juga, beliau juga manusia yang punya perasaan dan rasa sedih, sama seperti yang lainnya.
Berkat cucuran keringat dan kerja kerasnya, kita semua tidak merasakan pabrik-pabrik harus tutup seperti di Amerika. Atau kurs mata uang hancur lebur seperti di negara lainnya. Kita seolah hidup di planet lain yang tidak merasakan kerasnya pukulan krisis ekonomi, bahkan PHK dan melonjaknya harga-harga juga tidak terjadi. Setelah badai terlewati, beliau menghela napas panjang dan tersenyum. Upayanya mati-matian menahkodai keuangan dan perekonomian di Indonesia di saat genting berbuah manis.
Meski Jadi Menteri, Anak Sri Mulyani Harus Berhemat karena Gaji Menteri Tidak Cukup
Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar jabatan menteri? Banyak uang, ke mana-mana naik kendaraan mewah dan hidupnya terjamin? Nyatanya hal itu tak terjadi pada hidup Sri Mulyani dan keluarganya. Justru saat ia menjadi menteri, gaji yang ‘hanya’ 19 juta rupiah itu harus ia atur baik-baik untuk biaya rumah tangga dan sekolah anaknya. Bahu membahu bersama sang suami, Sri Mulyani menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan putra putrinya.
Bahkan saat sang putri sulung, Dewinta Illinia berangkat kuliah ke Australia, Sri Mulyani mengajak bicara anak pertamanya itu, hati ke hati. Beliau memberikan buku tabungan yang berisi gajinya saat menjabat sebagai Executive Director International Monetary Fund pada 2002-2004.
“Kamu harus hidup dengan ini. Mama enggak punya uang sekarang, beda dengan dulu,” tutur Sri Mulyani pada Dewinta. Ia berharap putrinya itu hidup sederhana di negeri kanguru, belajar dengan baik dan segera lulus. Begitu berat Sri Mulyani melepas putri tercintanya tinggal jauh di benua seberang, padahal dalam hati ia menjerit.
Sri Mulyani tak pernah bisa jauh dari keluarganya. Namun ia tahu bahwa masa depan Dewinta jauh lebih penting. Ia membekali ilmu paling berharga pada anak-anaknya, yaitu mengenai hidup sesuai dengan kemampuan dan stay on the track. Semasa Dewinta kuliah di Australia, Sri Mulyani mempergunakan gajinya dengan sebaik-baiknya, karena masih ada 2 anak lagi yang juga butuh dibiayai.
Kado Paling Menyakitkan Saat Ultah Sri Mulyani, Kasus Bank Century
Ulang tahu seharusnya menjadi momen yang membahagiakan. Namun sepertinya hal ini tak berlaku bagi Sri Mulyani beberapa tahun yang lalu. Perempuan dengan wajah bersahaja dan berpenampilan sederhana ini harus menerima ‘kado’ menyakitkan, dana talangan untuk Bank Century yang ia setujui, mulai dipermasalahkan dan meledak.
Sri Mulyani diserang habis-habisan oleh DPR. Beliau disalahkan karena seharusnya tidak mencairkan dana sebanyak 6 trilyun lebih bagi bank ‘kecil’ seperti Century. Wanita berkacamata ini dengan susah payah menjelaskan alasannya, dengan perumpaan yang ia harapkan bisa diterima oleh semua orang, termasuk para anggota dewan yang terhormat.
“Jika ada rumah terbakar, tidak mungkin dibiarkan karena api bisa membakar seisi kampung.” Bahwa di dalam rumah itu ada perampok, “Ya tangkap perampoknya,” kata Sri Mulyani dengan suara bergetar. Namun tetap aja, ia disudutkan dan dicerca tak henti-hentinya. Beliau mengatakan ingat betul kapan mula dana talangan bank Century melejit menjadi suatu pemasalahan.
“Tentu saya ingat, karena hari itu adalah hari ulang tahun saya,” ujarnya dengan getir. Perjuangannya menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi global, dibayar dengan tamparan dan tuduhan menyakitkan.
Sri Mulyani Dijegal di Negeri Sendiri, Tapi Dunia Membungkukkan Kepala padanya
 

Kisah hidup keluarga besar Sri Mulyani yang luar biasa

Sri Mulyani bukan tipe orang yang suka mencari muka apalagi sensasi. Ia tidak akan berkoar-koar di media seperti para politisi, dan lebih banyak diam serta menaati aturan yang berlaku. Begitu juga saat ia berkali-kali dipanggil untuk menjadi saksi bailout Bank Century, dan dituduh terlibat kasus yang tak pernah ia lakoni.
Ketika akhirnya ia ‘tersisih’ dan seolah semua jasanya pada Indonesia menguap begitu saja, Bank Dunia datang dan meminangnya untuk bekerja di sana. Pujian ahli-ahli ekonomi bahkan Presiden dan menteri dari negara lain pada Sri Mulyani pasca tindakan heroiknya pada krisis tahun 2008 terus mengalir. Ironis sekali bukan? di negeri sendiri, ia dijegal habis-habisan.
Menerima tawaran dari Bank Dunia bukanlah hal mudah bagi Sri Mulyani. Dewinta meneleponnya dan berkata bahwa itu tidak adil. Jika sang Ibu harus pindah ke Amerika Serikat maka jaraknya dari Australia sungguh jauh sekali. Mama, it’s not fair! Ujar anak-anaknya.
Belum lagi putra keduanya sudah diterima kuliah di UGM, Yogyakarta. Bisa dibayangkan betapa beratnya Sri Mulyani hidup berpencar dengan para anggota keluarganya, menahan rindu yang membuncah tiap harinya. Sosok yang dinyatakan sebagai perempuan paling berpengaruh nomor 23 di dunia versi majalah Forbes ini berusaha tegar dan tersenyum, seperti biasa.
Akhirnya ia berangkat mengemban tugas dan tanggungjawab yang lebih besar. Pemikiran dan juga dedikasinya kini dirasakan oleh seluruh negara di dunia. Walau terkadang, ia kerap menangis di saat sujud sholatnya, sembari berdoa semoga anak-anak dan suaminya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Maha Esa.
Sudahkah Indonesia Berterimakasih Pada Sri Mulyani?
Sri Mulyani memang tidak bertempur di medan perang, namun jasanya tak kalah dari para pejuang kemerdekaan. Di Indonesia, Sri Mulyani dianggap Menteri Keuangan andal dan lurus memerangi korupsi. Beliau memelopori reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Dia berusaha membersihkan Direktorat Jenderal Pajak serta Bea dan Cukai, dua lembaga yang kerap disebut sarang penyamun.
Kala itu, ratusan orang pegawai pajak dan bea-cukai dipecatnya lantaran korupsi. Setelah ‘bersih-bersih’, ia mendirikan lembaga LPDP dan memprakarsai beasiswa bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi baik di dalam dan di luar negeri. Tahukah Anda, ribuan putra putri bangsa diberangkatkan menuntut ilmu dengan biaya yang mumpuni, berkat gagasan Sri Mulyani?
Tidak hanya itu saja, ketika ini ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, bisa dibayangkan betapa besar tanggungjawab yang harus ia laksanakan. Walau dituduh bersalah karena ‘menolong’ Bank Century. Padahal jika saat itu bank milik Robert Tantular itu tak diberikan dana bailout alias dana talangan dan kolaps, maka krisis ekonomi diprediksi akan terjadi. Keputusan dilematis dan penuh risiko yang ia ambil, membuatnya jadi bulan-bulanan dan dipersalahkan.
Padahal tidak satu rupiahpun Sri Mulyani menikmati uang bailout tersebut. Tidak secuilpun ia pernah makan selain dari gaji dirinya dan suaminya. Lagi-lagi Sri Mulyani tak pernah membangkang pada hukum, dan berusaha memberikan penjelasan kenapa ia mengambil keputusan tersebutSri Mulyani Indrawati. Sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI, dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010. Pro dan kontra muncul sebagai respon terhadap pengunduran diri wanita yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Namun, ia lebih mengikuti hati nuraninya. Ia tak mau diombang-ambingkan oleh kepentingan politik segelintir orang, apalagi jika itu bertentangan dengan etika yang diyakininya. Dalam pertarungan kepentingan politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di pemerintahan. Toh, ia tetap mengaku menang. Bukan karena ia akan menjabat sebagai Managing Director World Bank pada 1 Juni 2010 nanti, tapi karena ia tetap berhasil memegang prinsip-prinsip dan etika yang diyakininya. Ia menang karena tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang, ia menegaskan ketika mengakhiri kuliah umumnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 18 Mei 2010.
Sri Mulyani Indrawati saat kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, (26/7).
Sri Mulyani Indrawati saat kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, (26/7).

Tentu saja, sosok Sri Mulyani seperti yang sekarang, tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga, bagaimana pasangan Prof. Satmoko (alm.) dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko (alm.) membentuk karakter Sri Mulyani dan saudara-saudaranya. Awal tahun 2009, Sri Mulyani, yang saat itu selain menjabat sebagai Menkeu juga merangkap menjadi Pelaksana Harian Menteri Koordinator Perekonomian RI, ia bererita kepada wartawan SWA, Eva Martha Rahayu dan Kristiana Anissa, tentang bagaimana orangtuanya itu mendidik dirinya dan saudara-saudaranya.
Ayah-ibunya tersebut adalah guru besar Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Dan, pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menggambarkan sebagian perjalanan hidup keluarga itu. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya juga tumbuh menjadi orang-orang yang berprestasi dan berpendidikan tinggi. Hebatnya, di bangku sekolah dan kuliah, prestasi mereka selalu menonjol, sehingga biaya sekolah gratis dan mendapat beasiswa kuliah di dalam dan luar negeri.
Mayoritas kakak dan adik Sri Mulyani menyandang gelar master dan doktor. Hanya satu orang yang bertitel sarjana dan seorang lagi bergelar professor. Meski profesi mereka beragam, rata-rata mereka juga mengabdikan diri sebagai pendidik sebagaimana ayah-ibu mereka.
Untuk urusan profesi, Bapak dan Ibu Satmoko cukup ketat. Mereka menganjurkan putra-putrinya menjadi dokter, insinyur dan dosen. Alasannya, ketiga profesi itu pada masa tersebut sangat dihormati secara sosial. Lantas, bagaimana tanggapan orang tua terhadap profesi Sri Mulyani sebagai menteri? Orang tua menganggap jabatan menteri adalah tugas negara. Sebenarnya cita-cita saya dulu menjadi dosen. Kalau menteri itu kan soal garis tangan aja kali ya, ungkap ibu tiga anak yang masuk dalam daftar 100 Wanita Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah Forbes itu.
Mengenai pilihan universitas, Bapak dan Ibu Satmoko menyarankan anak-anaknya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa bagian barat. Mengapa? Pertimbangannya, biaya universitas swasta mahal. Kedua, sistem perkuliahan universitas di Jawa bagian selatan kurang terbuka, kurang demokratis, kurang cepat, dan mendewakan dosen.
Sebenarnya, pasutri Satmoko membesarkan anak-anak mereka secara biasa saja. Kehidupan mereka layaknya keluarga normal lain, sehingga tidak ada yang istimewa. Namun, menurut Sri Mulyani, ada tiga poin penting dalam cara orang tuanya mendidik anak. Pertama, anak-anak dididik untuk selalu bersama dan bersatu. Ini mengingat ekonomi mereka tidak melimpah, karena mereka 10 bersaudara dan orang tua berprofesi sebagai dosen. Kedua, selain dianjurkan jempolan dalam mata pelajaran sekolah, anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah. Misalnya, voli, basket, hiking, pramuka, Palang Merah Remaja dan paduan suara. Ketiga, membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi. Kompas dan Suara Merdeka menjadi bacaan wajib keluarga itu, sedangkan bacaan lain di saat kecil dan remaja adalah Majalah Bobo, Kuncung, Gadis, dan buku-buku nonmata pelajaran.
Dari segi nilai-nilai hidup yang diajarkan, sebagaimana orang Jawa pada umumnya, ayah Sri Mulyani memberi petuah kepada anak-anaknya agar menjadi manusia yang tinggi tepo sliro-nya (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan hidup sederhana. Kami memang dibiasakan hidup dengan apa yang kami miliki, tidak berangan-angan yang macam-macam, jujur, tidak mengambil milik orang lain, dan tidak materialistis, ujar kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962, yang mengaku dulu tidur bersama empat saudaranya dalam satu kamar itu.
Meja makan menjadi ajang menghangatkan keluarga besar ini. Mereka berkumpul dan berkomunikasi akrab. Jika ayah dan ibu mereka tidak mengajar, pasti semuanya makan siang bersama. Setiap anak menceritakan apa yang dialami dalam hari itu dan ayah-ibu menceritakan pekerjaannya, misalnya soal rekan-rekan mereka yang bermasalah, mahasiswa pintar, mahasiswa bego, sehingga secara tidak langsung dari situ muncul nilai-nilai moral yang ditanamkan orang tua.
Orang tua adalah figur terbaik bagi anak-anak. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya meneladani sikap ayah-ibu mereka. Karakteristik ayahnya yang patut dicontoh adalah penggembira, suka musik, sangat bijaksana, ekspresif, jujur, memiliki insting tinggi untuk melayani orang (karena beliau pernah menjadi dekan), serta memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi. Sementara sang ibu adalah sosok yang serius, kutu buku, pekerja keras, dan tidak suka pada hal-hal yang berlebihan. Ibunda Sri Mulyani menempuh kuliah S-2 dan S-3 di IKIP Jakarta, dan gelar doktor diraihnya di usia 45 tahun. Ia bangga dengan ibunya yang menjadi ibu rumah tangga dengan 10 anak, tapi juga sukses di pendidikan dan karier. Bahkan, memberi contoh anak dengan meraih gelar profesor. Yang jelas, kami dibiasakan hidup disiplin dalam hal keilmuan dan menghargai orang lain, kata anak ke-7 dari 10 bersaudara itu mengenang.
Ada kebiasaan unik dalam keluarga Satmoko. Kendati anak-anak mereka sudah dewasa dan memiliki jabatan bergengsi, tetap ada tradisi meminta restu orang tua via telepon, surat, atau bertemu langsung jika akan menghadapi masalah penting. Istilahnya dalam bahasa Jawa adalah disuwuk atau dicium ubun-ubunnya. Kemudian didoakan dan mengucapkan pepatah Jawa yang berbunyi ‘rawe-rawe rantas malang-malang putung’ (segala sesuatu yang merintangi untuk mencapai tujuan harus disingkirkan),ungkap pejabat yang energik dan berpenampilan menarik itu. Ia mencontohkan, hal tersebut dilakukan ketika kakaknya akan menikahkan anak dan ujian profesor. Dengan disuwuk orang tua, secara psikologis mereka merasakan energi positif yang membawa aura baik. Sayang, Sri Mulyani bersaudara kini tidak dapat melanjutkan tradisi itu lagi, karena kedua orang tuanya telah wafat (sang ayah pada 25 Desember 2006 dan sang bunda pada 11 Oktober 2008).
Sri Mulyani bangga terhadap kedua orang tuanya. Bapak dan Ibu Satmoko tentu juga bangga dengan putri ketujuhnya itu. Maklum, nilai-nilai hidup yang mereka ajarkan diterapkan Sri Mulyani dalam mengemban tugas negara. Setidaknya, ajaran prinsip hidup untuk tidak mengambil hak orang lain dibuktikannya dengan keberanian memberantas korupsi di departemen yang dipimpinnya. Kalau kita mau anak buah kita tidak korupsi, kita harus contohkan jangan korupsi,  ujar Sri Mulyani, yang mengisi waktu senggang dengan berwisata kuliner dan berkaraoke bersama keluarga. Selain itu, ia tidak mau mentang-mentang jadi menteri bisa sembarangan memasukkan orang yang tidak qualified ke Departemen Keuangan.
Meski dibesarkan dalam keluarga Jawa yang mempunyai banyak batasan, Sri Mulyani membebaskan putra-putrinya dalam memilih profesi. Saya tidak mendoktrinasi anak-anak berdasarkan tujuan spesifik tertentu. Yang penting, anak-anak diberi nilai-nilai umum, karena pada akhirnya anak tersebut telah ada takdirnya sendiri seperti yang direncanakan Tuhan. Selain itu, kita harus bisa menjadi tempat bagi anak-anak untuk berdiskusi, kata istri Tony Sumartono ini. Pasutri ini dikaruniai tiga putra-putri: Dewinta Illinia (20 tahun), kini kuliah di Australia jurusan perdagangan dan hukum; Adwin Haryo Indrawan (16 tahun), siswa SMA Al Azhar; dan Luqman Indra Pambudi (13 tahun), siswa SMP Lab School.
Eva Martha Rahayu/Kristiana Anissa

No comments:

Post a Comment